Iman dalam Pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah
Pembicaraan tentang masalah iman merupakan salah satu perkara penting yang mendasar. Bahkan ini merupakan dasar aqidah seorang muslim. Salah dalam memahami keimanan bisa menyebabkan seseorang terjerumus dalam keharaman, kebid’ahan, bahkan bisa berujung kekafiran. Semoga sekelumit pembahasan masalah iman ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
[Definisi Iman]
Para ulama mendefinisikan iman yaitu ucapan dengan lisan, keyakinan hati, serta pengamalan dengan anggota badan, bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Inilah makna iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mayoritas Ahlus Sunnah mengartikan iman mencakup i’tiqad (keyakinan), perkataan, dan perbuatan.
Imam Muhammad bin Isma’il bin Muhammad bin al Fadhl at Taimi al Asbahani mengatakan : “ Iman menurut pandangan syariat adalah pembenaran hati, dan amalan anggota badan”.
Imam Al Baghawi mengatakan : ” Para sahabat, tabi’in, dan ulama ahlis sunnah sesudah mereka bahwa amal termasuk keimanan… mereka mengatakan bahwa iman adalah perkataan, amalan, dan aqidah”
Al Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab Al Umm : “ Telah terjadi ijma’ (konsesus) di kalangan para sahabat, para tabi’in, dan pengikut sesudah mereka dari yang kami dapatkan bahwasanya iman adalah perkataan, amal, dan niat. Tidaklah cukup salah satu saja tanpa mencakup ketiga unsur yang lainnya”
Al Imam Al Laalikaa-i meriwayatkan dari Imam Bukhari : “ Aku telah bertemu lebih dari seribu ulama dari berbagai negeri. Tidak aku dapatkan satupun di antara mereka berselisih bahwasanya iman adalah ucapan dan perbuatan,bisa bertambah dan berkurang “
Kesimpulannya menurut definisi syariat tentang iman bahwasanya iman mencakup perkataan dan perbuatan. Perkataan mencakup dua hal : perkataan hati, yaitu i’tiqad (keyakinan) dan perkataan lisan. Perbuatan juga mencakup dua hal yati perbuatan hati, yaitu niat dan ikhlas, serta perbuatan anggota badan. Sehingga tidak ada perbedaan makna dari ucapan para ulama di atas, yang ada hanya sebatas perbedaan istilah saja.[1]
[Iman Mencakup Keyakinan, Perkataan, dan Perbuatan]
Berikut dalil-dalil yang menjelaskan bahwa iman mencakup keyakinan hati, perkataan, dan perbuatan.
Dalil tentang keyakinan hati :
Allah Ta’ala berfirman :
وَلَمَّا يَدْخُلِ اْلإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ
“karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu” (Al Hujurat:14)
الْإِيمَانَ قُلُوبِهِمُ فِي كَتَبَ
“Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka” (Al Mujaadilah:22)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun keimanannya belum masuk ke dalam hatinya”[2]
Dalil tentang perkataan lisan :
Firman Allah Ta’ala :
قُولُوا ءَامَنَّا بِاللهِ وَمَآأُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَآأُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَاْلأَسْبَاطِ وَمَآأُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَآأُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وِنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ {136}
“Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (Al Baqarah:136)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَمَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَقَدْ عَصَمَ مِنِّى مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلاَّ بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah’, maka barangsiapa yang mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah’, maka sungguh dia telah menjaga harta dan jiwanya dari (seranganku) kecuali dengan hak Islam, dan hisabnya diserahkan kepada Allah”[3]
Dalil tentang amalan anggota badan :
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ … {143}
“dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (shalatmu)” (Al Baqarah:143)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina”[4]
Dan masih banyak dalil-dalil lain dari al Quran dan hadist yang menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan, perkataan, dan perbuatan[5]
[Iman Bisa Bertambah dan juga Berkurang]
Di antara keyakinan yang benar tentang iman adalah bahwasanya iman dapat bertambah dan juga dapat berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
فَزَادَهُمْ إِيمَانًا
“maka perkataan itu menambah keimanan mereka” (Ali Imran :173)
لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ {4}
“supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)” (Al Fath:4)
Nabi Shalallahu ‘alihi wa sallam bersabda :
يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَكَانَ فِى قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ ذَرَّةً
“akan keluar dari neraka, orang yang mengucapkan, ‘Laa Ilaaha Illaahu (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah) ‘, dan di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji sawi”[6]
Dalam hadist di atas nabi menjelaskan bahwa iman bertingkat-tingkat. Jika sesuatu bisa mengalami penambahan, maka bisa juga berkurang, karena konsekuensi dari penambahan adalah sesuatu yang diberi tambahan itu lebih kurang daripada yang bartambah.[7]
Iman dapat bertambah disebabkan karena bebrapa hal :
1. Mengenal Allah Ta’ala melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Semakin seseorang mengenal Allah, keimanannya semkain bertambah.
2. Memperhatikan ayat-ayat Allah baik ayat-ayat kauniyah maupun ayat syar’iyah.
3. Banyak melakukan ketaaatan.
4. Meninggalkan kemakisatan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
Adapun ha-hal yang dapat mengurangi keimanan di antaranya :
1. Berpaling dari mengenal Allah dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya
2. Tidak mau memperhatikan ayat-ayat kauniyah dan syar’iyah
3. Sedikitnya amal shalih
4. Melakukan kemaksiatan kepada Allah[8]
[Iman Memiliki Banyak Cabang]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan, atau enam puluh tiga sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah perkataan, Laa illaaha illallah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman.”[9]
Hadist ini diantara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan hati dan amalan hati, perkataan lisan, dan juga perbuatan anggota badan .Selain itu, hadist ini juga menunjukkan bahwa iman itu memiliki cabang-cabang.
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “ Pokok keimanan memiliki cabang yang banyak. Setiap cabang adalah bagian dari iman. Shalat adalah cabang keimanan, begitu pula zakat, haji, puasa, dan amalan-amalan hati seperti malu, tawakal… Di antara cabang-cabang tersebut adacabang yang jika hilang maka akan membatalkan keimanan seperti cabang syahadat. Ada pula cabang yang jika hilang tidak membatalkan keimanan seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Di antara dua cabang tersebut terdapat cabang-cabang keimanan lain yang bertingkat-tingkat. Ada cabang yang mengikuti dan lebih dekat ke cabanag syahadat. Ada pula yang mengikuti dan lebih dekat ke cabang menyingkirkan gangguan dari jalan. Demikian pula kekafiran, memiliki pokok dan cabng-cabang. Sebagaimana cabang iman adalah termasuk keimanan, maka cabang kekafiran juga termasuk kekafiran. Malu adalah cabang iman, maka berkurangnya rasa malu merupakan cabang dari kekafiran. Jujur adalah cabang iman, sedangkan dusta adalah cabang kekafiran. Maksiat seluruhnya adalah cabang kekafiran, sebgaiaman semua ketaatan adalah cabang keimanan”[10]
[Keimanan Betingkat-Tingkat]
Syaikh Ibnu Baaz ketika mengomentari perkataan Imam at Thahawi “ Iman adalah satu kesatuan dan pemiliknya memiliki keimanan yang sama” mengatakan : “Perkataan Imam at Thahawi ini perlu ditinjau lagi, bahkan ini merupakan perkataan yang batil. Orang yang beriman tidaklah sama dalam keimanannya. Justru sebaliknya, mereka memiliki keimanan yang bertingkat-tingkat dengan perbedaan yang mencolok. Iman para rasul tidaklah dapat disamakan dengan iman selain mereka. Demikian pula iman para al khulafaur rasyidin beserta para sahabat yang lain, tidaklah sama dengan yang lainnya. Iman orang-orang yang betul-betul beriman juga tidak sama dengan iman orang yang fasik. Hal ini didasari pada perbedaan yang ada dalam hati, berupa pengenalan terhadap Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan segala yang disyariatkan bagi hamba-Nya. Inilah pendapat Ahlus sunnah wal jama’ah, berbeda dengan pendapat murjiah dan yang sepaham dengan mereka.Wallahul musta’an “[11]
Permasalahan ini sangat jelas jika kita melihat dalil-dalil yang ada dalam al Quran dan as Sunnah serta realita yang terjadi bahwa keimanan itu bertingkat-tingkat.
Allah melebihkan sebagian rasul dibandingkan rasul yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman :
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِّنْهُم مَّن كَلَّمَ اللهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ … {253}
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. …” (Al Baqarah:253)
Pemberian keutamaan sebgaian rasul dibandingkan yang lain disebabkan perbedaan tingkat keimanan mereka. Demikian pula di antara para rasul ada yang termasuk ulul ‘azmi. Mereka adalah rasul-rasul yang memiliki kedudukan yang paling agung dan derajat yang paling tinggi. Para rasul tidak sama semua kedudukannaya di sisi Allah.
Allah Ta’ala berfirman :
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُوْلُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ … {35}
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul …” (Al Ahqaf:35)
Demikian pula keimanan para sahabat. Keimanan mereka berbeda-beda. Keimanan yang paling tingggi adalah keimanan yang dimiliki oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah sahalallhu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Seandainya keimaanan seluruh umat ditimbang dengan keimanan Abu bakar, maka keimanan Abu Bakar lebih berat”. Abu Bakar Su’bah al Qaari berkata : “Tidaklah Abu Bakar mendhaului kalian dengan banyaknya sholat dan shodaqoh, namun dengan iman yang menancap di hatinya”[12]
[Pelaku Dosa Besar Tetaplah Seorang Mukmin]
Termasuk pembahasan penting dalam masalah iman adalah dalam menghukumi pelaku dosa besar. Pada dasarnya, seorang mukmin yang melakukan kemaksiatan yang tidak sampai derajat kekafiran tetap dihukumi sebagai seorang mukmin. Inilah madzab ahlus sunnah wal jama’ah. Di antara dalilnya yaitu ayat qishos dalam firman Allah :
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءُُ فَاتِّبَاعُ بِالْمَعْرُوفِ
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik” (Al Baqarah:178). Mereka (pelaku maksiat) tetap dianggap saudara seiman dengan kemksiatan yang mereka lakukan. Allah juga berfirman :
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ {9} إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ … {10}
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu” (Al Hujurat:9-10). Dalam ayat ini Allah menyifati dua kelompok yang berperang dengan predikat mukmin walaupun mereka saling berperang. Allah juga memberitakan bahwa mereka adalah saudara, dan persaudaraan tidaklah terwujud kecuali antara sesama kaum mukminin, bukan antara mukmin dan kafir.
Adapun orang-orang fasik yang berbuat kemakisatan, keimanan mereka tidak hilang secara total Dalil-dalil syariat terkadang menetapkan keimanan pada mereka, seperti firman Allah :
وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
“(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya (budak) yang beriman” (An Nisaa’:92). Budak beriman yang dimaksud termasuk juga budak yang fasik.
Terkadang juga dalil-dalil syariat menafikan keimanan pada mereka, seperti dalam hadist:
لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina”[13]
Madzab ahlussunnah dalam menyikapi pelaku maksiat adalah tidak mengkafirkannya, namun juga tidak memutlakkan keimanan pada diri mereka. Oleh akarena itu kita katakan sebgaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “ Mereka (orang-orang fasik) adalah mukmin dengan keimanan yang kurang (tidak sempurna), atau bisa juga dikatakan mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besarnya. Mereka tidak mendapat predikat iman secara mutlak, tidak pula hilang keimanan (secara total) dengan dosa besarnya”[14] (Matan al ‘Aqidah al Washitiyah)
[Antara Iman dan Islam]
Apa perbedaan antara iman dan islam? Kata iman dan islam terkadang disebutkan bersamaan dalam satu kalimat, namun terkadang disebutkan salah satunya saja. Jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup makna keduanya. Dan bila disebutkan kedua-duanya, maka iman dan islam memiliki makna yang berbeda. Jika disebutkan iman saja, maka tercakup di dalamnya makna iman dan islam. Demikian pula sebaliknya. Namun, jika desebutkan iman dan islam, maka masing-masing memilki makna sendiri-sendiri. Iman mencakup malan-amalan hati, sedangkan islam mencakup amalan-amalan lahir.
Imam Ibnu Rajab al Hambali menjelaskan : “Jika masing-masing islam dan iman disebutkan secara sendiri-sendiri (disebutkan iman saja atau islam saja) maka tidak ada perbedaan di antara keduanya. Namun, apabila disebutkan secra bersaamaan, di antara keduanya ada perbedaan. Iman adalah keyakinan hati, pengakuan dan pengenalan. Sedangkan islam adalah berserah diri kepada Allah, tunduk kepadan-Nya dengan melakukan amlan ketaatan “[15]
[Kadar Minimal Rukun Iman]
Pokok-pokok keimanan terdapat dalam rukun iman yang enam, sebagaimana diterangkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :
قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.” [16]
Masing-masing rukun iman memiliki kadar minimal sehingga dikatakan sah keimanan seseorang terhadap rukun tersebut. Secara umum, kadar minimal untuk keenam rukun iman tersebut adalah sebagai beikut
Iman kepada Allah:
– Beriman dengan wujud Allah
– Beriman dengan rububiyah Allah
– Beriman dengan uluhiyah Allah
– Beriman dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah
Iman kepada para malaikat Allah:
– Beriman dengan keberadaan para malaikat Allah
– Mengimani secara rinci nama-nama malaikat yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui
– Mengimani secara rinci sifat-sifat mereka yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui
– Mengimani secara rinci tugas-tugas mereka yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui
Iman kepada kitab-kitab Allah :
– Mengimanai bahwa seluruh kitab berasal dari Allah
– Mengimani secara rinci nama-nama kitab Allah yang kita ketahui dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui
– Membenarkan berita-berita yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut
– Beramal dengan hukum-hukum yang ada di dalamnya selama belum dihapus
Iman kepada para rasul Allah :
– Mengimani bahwa seluruh risalah para rasul berasal dari Allah
– Mengimani secra rinci nama para nabi dan rasul Allah yang kita ketahui dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui
– Membenarkan berita yang shahih yang datang dari mereka
– Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita (yaitu Muhammad shalallhu ‘alaihi wa sallam)
Iman kepada hari akhir :
– Beriman dengan hari kebangkitan
– Beriman dengan hari perhitungan dan pembalasan (al hisaab wal jazaa’)
– Beriman dengan surga dan neraka
– Beriman dengan segala sesuatu yang terjadi setelah kematian
Iman kepada takdir Allah :
– Beriman bahwasanya Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi
– Beriman bahwasanya Allah telah menetapkan segala sesuatu di Lauh mahfudz
– Beriman bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah
– Beriman bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan makhluk Allah[17]
Barangsiapa yang tidak mengimani pokok-pokok yang ada pada kadar minimal rukun iman, maka batal rukun iman tersebut. Dan barangsiapa yang batal salah satu rukun iman, maka batal pula seluruh keimanannya.
[Hukum Mengatakan “ Saya Mukmin InsyaAllah”]
Bolehkah mengucapkan perkataan “Saya mukmin InsyaAllah?”. Perkataan ini diistilahkan oleh para ulama dengan al istisnaa’ fil iman (pengecualian dalam keimanan). Manusia terbagi menjadi tiga kelompok dalam masalah ini. Ada yang mengharamkannya secara mutlak, ada yang membolehkannya secara mutlak, dan ada yang merinci hukumnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum perkataan : Saya mukmin Insya Allah”. Beliau menjelaskan : “ Perkataan seseorang ‘Saya mukmin Insya Allah’ diistilahkan oleh para ulama dengan al istisnaa’ fil iman (pengecualian dalam keimanan). Masalah ini perlu perincian :
1. Jika istisna’ muncul karena ragu dengan adanya pokok keimanan maka ini merupakan keharaman bahkan kekafiran.. Karena iman adalah sesuatu yang pasti (yakin) sedangkan keraguan membatalkan keimanan.
2. Jika istisna’ muncul karena khawatir terjatuh dalam tazkiyatun nafsi (menyucikan diri), namun tetap disertai penerapan iman secara perkataan, perbuatan, dan keyakinan, maka hal ini sesuatu yang wajib karena adanya rasa khawatir terhadap sesuatu yang berbahaya yang dapat merusak iman.
3. Jika maksud istisna’ adalah bertabaruk dengan menyebut masyiah (kehendak Allah) atau untuk menjelaskan alasan, dan iman yang ada dalam hati tetap tergantung kehendak Allah, maka hal ini diperbolehkan. Dan penjelasan untuk penyebutan alasan (bayaani ta’lil) tidaklah meniadakan pembenaran iman. Telah terdapat penjelasan hal ini seperti dalam firman Allah :
َتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَآءَ اللهُ ءَامِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لاَتَخَافُونَ …{27}
“… bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut…” (Al Fath :27). Dan juga dalam do’a Nabi ketika ziarah kubur :
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ “ dan kami insya Allah akan menyusul kalian”[18]
Dengan penjelasan di atas, maka tidak boleh memutlakkan hukum dalam masalah al istisna’ fil iman. Yang benar adalah merinci masalah ini[19].
Demikian beberapa penjelasan mengenai permasalahan iman. Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi tatimus shaalihaat
Penulis: Adika Mianoki
Artikel www.muslim.or.id
Catatan kaki
[1]. Lihat Nawaaqidul Iman al I’tiqodiyyah wa Dhowabitu Takfiir ‘inda as Salaf I/35-37 [2]. H.R Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi. Dishahihkan Albani dalam Shohihul Jaami’ VI/308 [3]. H.R Muslim22 [4]. H.R. Muslim 57 [5]. Lihat dalil-dalil yang lebih lengkap dan penjelasannya dalam Nawaaqidul Iman I/38-54 [6]. H.R Muslim 193 [7]. Syarh Lum’atil I’tiqad 57, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin [8]. Diringkas dari Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah 594-596, Syaikh ‘Utsaimin. Kumpulan Ulama. [9]. H.R Muslim 58 [10]. Dinukil dari Nawaaqidul Iman I/55-56 [11]. Ta’liq Syaikh Ibnu Baaz terhadap al ‘Aqidah at Thahawiyah. Dalam Jaami’us Syuruh al ‘Aqidah ath Thahawiyah II/488. Cet. Darul Ibnul Jauzi. [12]. Lihat Syarh al ‘Aqidah at Thahawiyah, Syaikh Sholeh Alu Syaikh. Dalam Jaami’us Syuruh al ‘Aqidah ath Thahawiyah II/488 [13]. H.R. Muslim 57 [14]. Matan al ‘Aqidah al Washitiyah [15]. Jaamiul ‘Ulum wal Hikam 63, Ibnu Rajab Al Hambali. [16]. H.R. Muslim 8 [17]. Silakan simak pembahasan lengkapnya dalam Syarh Ushul Iman, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin. [18]. H.R Muslim 974 [19]. Alfaadz wa Mafaahim fii Mizani as Syar’i wa ad Diin 28-29, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin.🔍 Doa Saat Minum Air Zam Zam, Donasi Suriah, Apakah Suami Istri Itu Muhrim, Teks Khutbah Shalat Istisqa
Artikel asli: https://muslim.or.id/5478-iman-dalam-pandangan-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html